Membicarakan Sumba membuat ingatan saya langsung melayang ke beberapa bulan yang lalu tentang sebuah perjalanan yang indah. Perjalanan ini sebenarnya dalam rangka kerja, tapi entah mengapa keramahan Sumba dapat membuat saya merasa ini seperti liburan sesungguhnya. Masih jelas teringat keramahan senyum mereka yang sering saya temui ditengah perjalanan, mengajak saya berbincang meskipun kadang saya kurang mengerti, tapi hangatnya senyum itu seolah meluruhkan perbedaan linguistik diantara kami. Dan juga yang membuat saya rindu adalah keindahan bentang alamnya. Pulau kering yang didominasi savana itu sangat mampu memanjakan mata ini yang mungkin cukup lelah memandangi beton-beton tinggi pencakar langit setiap hari. Ada banyak destinasi yang mampu memikat kita ketika berada di Sumba; Laguna Waekuro, Bukit Wairinding, Pantai Walakiri dan Tarimbang, Air Terjun Lapopu dan banyak lagi destinasi yang cantik namun kurang populer. Banyak yang jatuh cinta dengan tanah ini ketika menginjakkan kaki di tanah Sumba. Dan saya berharap bisa terus kembali dengan segala cerita baru yang berbeda
Day 1 Sumba (Desa Ratenggaro • Laguna Waekuri)
Kelelahan masih mendera tubuh saya ketika saya tiba di Bandara tambolaka, Sumba Barat Daya siang itu. Setelah camping 4 hari di Gunung Pakuwaja, Prau dan Telaga Dringo saya langsung berangkat menuju Sumba. Mengganti peralatan camping saya dengan pernak-pernik berbau Pantai, karena 10 hari kedepan saya akan menjelajahi Sumba dan Bali. Yang pertama kali saya rasakan ketika mendarat di Sumba adalah panasnya yang luar biasa. Daratannya pun kering tanpa banyak pohon rindang yang menghiasi. Setelah keluar dari Bandara tak lama sopir dan guide saya datang menjemput. Dengan logat khas Sumba-nya beliau memperkenalkan diri dan menjelaskan sedikit tentang rute hari ini. Saya semakin siap dan tak sabar untuk menjelajahi pulau dengan daratan yang didominasi bukit savana ini. Tujuan pertama adalah Desa Ratenggaro. Jalanan menuju desa ini terbilang cukup bagus untuk ukuran jalanan Sumba. Aspal mendominasi dengan jalanan berbukit naik turun. Sepanjang perjalanan kita akan disuguhkan kampung-kampung kecil dengan rumah khas sumba dan juga kuburannya. Hampir tiap rumah yang saya temui memiliki kuburan didepan rumahnya. Tradisi yang masih terjaga hingga saat ini.
Sekitar 1 jam lebih akhirnya mobil kami tiba di Desa adat Ratenggaro. Pucuk-pucuk atap yang terbuat dari alang-alang kering menyapa kami. Tingginya bukan main, saya diarahkan guide saya menuju tempat mengisi buku tamu. Setelah itu saya bebas mengelilingi desa adat yang sebenernya tak begitu luas ini. Hari itu warga yang tinggal di desa adat sepi sekali. Bahkan banyak rumah yang kosong tak berpenghuni. Puas mengelilingi kampung kecil itu akhirnya saya memutuskan untuk pulang ketika sudah banyak warga yang mengerubuni saya. Kebanyakan mereka menjual pernak-pernik khas daerah mereka, ada beberapa dari mereka yang memaksa, begitupun dengan anak kecil banyak yang memaksa meminta-minta dengan cara paksa.
Setelah itu guide saya langsung memacu laju mobil menuju laguna waekuri, atau lebih banyak orang menyebutnya dengan sebutan danau. Sekitar satu jam jaraknya perjalanan dari Ratenggaro, akhirnya kami tiba. Jalanan menuju Waekuri sore hari sangat indah. Jalanan yang hanya selebar dua meter itu dihiasi rerumputan hampir setinggi dua meter sepanjang jalan, rerumputan yang kering tersebut sangat indah ketika berpadu dengan cahaya matahari yang mulai menjingga sore itu. Mobil diparkirkan dan saya langsung menuju laguna. Beruntung hanya rombongan kami saja yang tiba sore itu. Jadi kami puas menjelajahi berbagai sudut laguna kecil yang sangat indah sore itu. Dari ujung ke ujung spotnya saya coba, dari mulai hanya bermain air sampai akhirnya berenang di laguna. Bak kolam pribadi rasanya berenang di laguna sore itu. Beningnya air laut yang ada disini pasti akan membuat kita betah berlama-lama, ditambah kedamaian yang ditawarkan tempat ini menjadi poin plus bagi anda yang menginginkan destinasi cantik yang masih perawan, karena spot ini masih belum banyak dikunjungi, tak seramai spot-spot di tempat lainnya. Mungkin hal inilah yang menjadikan Sumba sebagai destinasi favorit bagi saya, masih sepi, masih belum terlalu banyak yang menjamahnya.
Tak lama saya mengeringkan badan dan bersiap mencari spot untuk menyaksikan matahari terbenam. Saya harus berjalan melewati karang-karang karst dengan ukuran besar disini untuk tiba diujung bibir karang yang menjadi tempat menyaksikan sunset yang ciamik. Karangnya sangat tajam jadi sangat disarankan berhati-hati dan menggunakan alas kaki. Tepat pukul 6 WITA matahari menghilang dari peraduannya. Momen tiap menitnya sangat indah pada sore itu. Saya yang kurang menyukai pantai, tapi dibuat jatuh cinta dengan pesona Sunset Waekuri waktu itu. Bentuk matahari benar-benar membulat sempurna. Cahaya oranye yang dibiaskan ke lautan pun menambah apiknya senja sore itu. Cukup mengobati kepenatan saya dari kemarin. Tak lama sebelum langit mulai menggelap kami kembali ke hotel di Tambolaka
Day 2 Sumba (Air Terjun Lapopu • Pantai Tarimbang)
Pagi hari setelah sarapan dan mengepak barang bawaan, saya langsung meluncur menuju air terjun Lapopu. Semakin pagi semakin bagus katanya, karena sinar matahari tidak begitu terik menyengat dan spot disana masih sepi. Perjalanan menuju sini ternyata lebih gokil sensasi jalanannya. Jalanannya berbukit naik turun ditambah banyak jurang kiri kanan, namun beruntung pemandangan bukit savana dikiri kanannya sangat cantik mampu mengalihkan kepala saya yang mulai pusing dengan jalanan seperti itu. Sekitar dua jam perjalanan akhirnya kami tiba di air terjun. Kami harus berjalan sekitar 1KM dari tempat kami memarkirkan mobil karena akses tak bisa lagi dilalui mobil kami. Tiba di air terjun, cahaya matahari sedang bagus-bagusnya. Air terjunnya yang mengandung mineral mengeluarkan warna hijau bercahaya. Tak sabar rasanya menceburkan diri di air terjun ini. Secepat kilat saya berganti pakaian dan langsung nyebur. Airnya dingin sekali. Saya menjelajahi tiap sudut air terjun ini hingga kesisi ujungnya. Cukup unik karena seperti dipayungi sebuah batu besar ketika kita berada dibawahnya.
Sekitar dua jam kami menghabiskan waktu disini. Berenang, nyebur, lompat, foto-foto semuanya sudah dilakukan. Setelah dirasa puas akhirnya kami melanjutkan perjalanan ke destinasi selanjutnya, yaitu pantai Tarimbang. Jaraknya sangat jauh. Sekitar 5 jam perjalanan. Namun sepanjang perjalanan kesana kita akan disuguhi berbagai macam view spektakuler dan hal-hal yang unik. Mulai dari savananya yang eksotik, pemandangan mobil-mobil transportasi umum yang diisi tidak hanya oleh penumpang saja, tetapi segala macam peralatan rumah tangga, kasur, kursi, lemari, dll diatas mobilnya, bahkan banyak wanita yang ikut duduk diatas mobil. Jalanan menuju Pantai Tarimbang awalnya cukup bagus. Namun ketika hampir sampai disana jalanan akan sangat rusak parah. Tak jarang pemandangan seperti ini membuat nurani saya kadang bersedih dan mengecil, entah kenapa saya yang selama ini sering mengeluh seolah ditampar bahwa banyak keganasan dari keterbatasan cara hidup yang dialami oleh orang lain, dan ujung-ujungnya saya diingatkan untuk lebih banyak bersyukur atas apa yang telah saya miliki. Di Sumba ini akan banyak sekali kita jumpai jalan-jalan yang masih sangat sederhana dan rumah yang tak kalah sederhana pula, hidup mereka sederhana, aktivitas mereka tak begitu banyak, dan segalanya serba ala kadarnya, namun mereka tetap mampu bahagia, senyum yang merekah jelas di wajah mereka mungkin mampu jadi bukti yang valid dan kuat atas dugaan saya itu.
Akhirnya kami tiba di Pantai Tarimbang disaat matahari hampir jatuh ke ufuk barat dan tak lama menghilang. Sepi sekali rasanya saat itu, hanya ada rombongan saya yang jumlahnya tak seberapa. Entah kenapa saya seolah tersihir oleh kedamaian yang ditawarkan pantai ini. Deburan ombak yang menggulang dari samudera menjadi suara utuh yang terdengar paling jelas pada saat itu, saya sengaja menjauh dari tim saya karena ingin benar-benar merasakan kedamaian pantai yang berbentuk seperti teluk ini. Matahari makin menjingga, saya makin terhanyut oleh playlist yang saya putar, tak lama kami harus kembali, kali ini menuju Homestay Pak Marthen, tempat kami akan menginap malam itu. Saya sangat suka kesederhanaan ditempat ini. Entah mengapa saya menyukai segala kesederhanaan yang ditawarkan tempat ini. Kami hanya disediakan sebuah bungallow yang teramat sederhana yang bentuknya hampir reyot, yang didalamnya hanya ada sebuah kasur kecil yang sebenarnya kurang nyaman dan dilapisi kelambu agar nyamuk tak mudah masuk. Listrik disini hanya ada dari jam 7 malam sampai jam 10 malam saja. Selebihnya tak ada sentuhan modernitas lagi dari tempat ini. Satu-satnya cara untuk tetap merasa hidup adalah dengan berbaur bersama yang lainnya, tapi malam itu saya memilih untuk lebih banyak menyendiri, hanya sebentar saya meluangkan waktu berbincang bersama dengan driver saya dan pemilik Homestay ini, Pak Marthen itu sendiri. Malam itu terasa sangat dingin dengan angin yang cukup kencang. Moke minuman beralkohol khas Sumba menghangatkan kami dibarengi dengan perbincangan yang entah melantur kemana-mana, namun saya suka. Logat mereka yang sangat kental dengan ketimuran membuat saya terkadang tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Tak lama saya pamit dari meja makan itu dan duduk menyendiri didepan teras bungallow kecil itu. Bintang yang bertaburan sangat jelas dilangit menjadi teman paling syahdu menyesapi setiap lirik dari playlist yang saya mainkan. Perjalanan seperti ini seperti mahal sekali rasanya bagi saya. Saya merefleksikan diri dalam kesendirian itu. Mencoba mengulang bagian-bagian ingatan saya akan peristiwa berat yang beberapa waktu ini setia menghampiri saya. Tanpa bermaksud menambah porak-porandanya mental saya malam itu, saya semakin menikmati proses menyesapi dan menyelami lebih dalam lagi jiwa saya, tujuan saya satu, menemukan rasa syukur yang hakiki dari kehidupan. Dan perjalanan seperti inilah yang saya butuhkan untuk memfasilitasi proses itu semua
Day 3 Sumba (Bukit Wairinding • Puru Kambera)
Sebelum matahari beranjak dari peraduannya, saya terbangun karena dinginnya udara pagi itu. Saya memang sudah berniat untuk menikmati keindahan Tarimbang saat pagi hari. Dari tempat saya menginap menuju Pantai Tarimbang tak terlalu jauh, sekitar 1 KM. Saya banyak menemukan babi dan anjing sepanjang jalan, disini mereka bisa hidup bebas tanpa harus dikandangi. Saya sempat terkejut melihat kabut yang muncul dari pantai ini, yang ternyata adalah percikan air laut yang menguap dan diterpa cahaya sinar matahari pagi, pemandangan yang indah untuk memulai hari itu. Sepi sekali pagi itu, tak ada orang lain di pantai itu selain tim saya. Puas menikmati keindahan pantai ini akhirnya saya kembali ke penginapan dan mengepak barang saya untuk melanjutkan perjalanan ke sisi timur Sumba.
Kali ini perjalanan kami lanjutkan menuju Bukit Wairinding, salah satu spot hits di Sumba karena pernah dipakai oleh Mira Lesmana sebagai lokasi syuting film Pendekar Tongkat Emas. Perjalanan dari Pantai Tarimbang sekitar 2 jam menuju tempat ini. Letak bukit ini sedikit tersembunyi, dibelakang rumah warga , bahkan kami yang sudah jenuh dengan perjalanan berliku-liku ini tak menyadari jika kami sudah melewati bukit-bukit Wairinding itu sendiri. Mobil diparkirkan tepat didepan rumah warga, kami disuruh driver untuk mendaki bukit kecil dibelakang rumah itu namun sebelumnya harus mengisi buku tamu dengan memberi donasi seikhlasnya. Sampai di pucuk bukit saya sempat ternganga cukup lama dengan pemandangan didepan mata. Hamparan bukit-bukit dengan savana coklat luas sekali menghampar didepan mata seolah tak ada ujungnya. Dari tempat saya berdiri saya bisa melihat bukit-bukit cantik ini sejauh mata memandang. 360 derajat saya berutar dan terus mendapati pemandangan yang sama. Makin jauh dilihat makin cantik pula savana-savana itu. Banyak anak kecil bermain disini, memainkan permainan tradisional mereka. Cuaca siang itu yang sangat terik tak menghalangi sedikitpun semangat kami untuk menikmati panorama keindahan yang aduhai ini. Saya berdiri tepat disaat matahari sedang tegak lurus diatas kepala saya. Panasnya bukan kepalang karena tak ada benda apapun yang bisa dijadikan untuk berteduh. Tim saya yang lainnya sibuk mencari spot lain untuk berfoto ria. Saya duduk meringkuk dibalik sebuah batu, mencoba mencari tempat untuk berteduh namun gagal, matahari tetap dengan gagahnya memayungi kepala saya. Dari kejauhan anak kecil itu bermain -entah apa namanya- permainan tradisional mereka. Berlarian kesana-sini tanpa alas kaki. Mereka seolah tak takut lagi terjatuh dari tebing-tebing dari bukit kecil ini. Tak lama mereka menghampiri saya yang sedang duduk sendirian, memandangi saya dalam-dalam. Saya menyayangkan diri tak membawa permen atau apapun yang bisa saya bagikan kepada mereka. Saya mengobrol dengan mereka, menanyakan beberapa hal namun hanya dijawab dengan tawa malu oleh mereka, mungkin mereka kebingungan atau tidak mengerti apa yang saya maksud
Tak lama saya meninggalkan mereka menuruni bukit ini ke sisi lainnya. Saya mencari spot yang lebih fotogenic untuk diabadikan. Saya kagum dengan keindahan bentang alam savana yang maha luas ini. Coklatnya berpadu kontras dengan birunya langit dan putihnya awan. Angin yang bertiup sepoi-sepoi pada saat itu berhasil memberikan hawa yang sedikit sejuk ke tubuh saya. Cukup ampuh mengurangi panasnya terik matahari saat itu. Setelah dirasa puas menikmati bukit-bukit ini akhirnya kami turun kebawah, melanjutkan kembali perjalanan.
Destinasi selanjutnya adalah Pantai Puru Kambera. Sekitar satu setengah jam dari sini. Sepanjang perjalanan menuju Puru Kambera kami disuguhkan oleh hamparan padang savana seperti dari bukit Wairinding tadi. Kali ini saya semakin terhipnotis dengan keindahan savana disini. Sejauh apapun kita memandang, kita akan menemukan savana dimana-mana. Ada yg berupa bukit-bukit cantik, padang yang luas, dan cerukan yang dalam. Semuanya diselimuti savana. Bahkan saat hampir tiba di Pantai Puru Kambera pun savana tersebut masih setia menemani. Kali ini setiap savana selalu diisi kuda dan kerbau liat. Dua binatang itu mampu menambah keindahan dari savana disini. Mereka dibiarkan bebas berkeliaran, entah siapa tuannya.
Kami tiba di Pantai Puru Kambera ketika matahari sudah mulai beranjak kembali keperaduannya. Waktu yang tepat untuk menikmati sunset. Saya langsung berlarian menuju pinggir pantai yang sedang surut. Saya berjalan menuju batas air laut paling jauh. Banyak sekali tumbuhan dan hewan laut yang dapat kita temukan disini. Mulai dari bulu babi, cacing laut, sampai ikan-ikan yang berwarna-warni yang tertangkap dikarang karena air surut
Setelah langit mulai gelap kami akhirnya pulang, kembali ke hotel di Kota Waingapu. Berbeda dengan dua tempat kemarin yang kami gunakan untuk menginap, Waingapu lebih ramai, karena ini adalah kota terbesar yang ada di Pulau Sumba. Disini banyak sekali makanan yang dapat kita jumpai, mulai dari seafood sampai makanan khas daerah sini. Untuk seafood, semuanya terpusat di daerah dermaga. Disini kita bisa menemukan seafood segar dengan harga yang cukup miring
Hari ini hari terakhir saya berada di Sumba. Agenda kali ini saya hanya mengunjungi desa penghasil kain tenun khas Sumba. Disini kain tenun benar-benar dihasilkan dengan teknik yang menurut saya sangat rumit. Semuanya diolah secara manual menggunakan mesin sederhana dan tangan manusia. Dengan sangat telaten mereka mengolah benang-benang polos itu hingga menjadi selembar kain yang sangat indah. Bahkan ada beberapa kain yang teramat indah dengan harga sangat fantatis mencapai 25 juta perlembar. Namun keindahannya sungguh mengagumkan. Dan setiap kain yang dibuat disini diciptakan dengan pola tersendiri, setiap pola memiliki makna yang berbeda, ada yang menggambarkan proses pemakaman raja, menggambarkan makna Keyakinan mereka (Marapu) dan berbagai pola lainnya. Jika kesini, siapkan uang lebih atau kartu kredit/debit (karena mereka menyediakan mesin gesek langsung). Puas melihat proses pembuatan kain tenun ini, akhirnya kami pulang, meninggalkan tanah Sumba dengan segala kekaguman yang menempel jelas dihati. Semoga suatu hari dapat kembali lagi ke Tanah surga ini, dengan cerita dan pengalaman yang baru
Catatan Kecil tentang perjalanan Sumba: